Langit indah bertabur tebaran bintang malam ini. Sang dewi malam
dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari
surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk
berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit
itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang
melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang
jatuh.
Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan manusia.
Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu tertarik
gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk satu
permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin benda
langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri tersebut
mampu mengabulkan keinginan makhuk lain?
Seandainya bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti dia akan
meminta sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia
diperpanjang. Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam.
Sayang, saat ini, aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang
menggoda itu seakan seperti pantulan cermin atas diriku sendiri.
Awalnya begitu indah, tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh,
dan jika Tuhan menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan.
Aku terlahir sebagai bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang
tuaku tak lulus SD, begitu juga kedua kakak perempuanku. Mereka menikah
di usia yang masih sangat belia, menjadi ibu rumah tangga, mengurusi
anak, suami, dan dapur.
Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku tak mau seperti
mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi kepanjangan tangan
Tuhan mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku menjadi anak
asuhnya sejak aku SD karena terkesan dengan prestasi belajarku saat aku
menjadi juara 1 lomba cerdas cermat se-kecamatan.
Sejak saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk
semua keperluanku. Aku tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku
mau, sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti
aku telah mendapatkannya. Aku cantik, setidaknya aku primadona desa.
Aku juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini adalah
jodohku. Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai
keberuntungan.
Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini tidak
demikian, aku berharap ada bintang jatuh, berharap mitos tentangnya
benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak ingin jadi
diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa anak Pak Kardi dan
Ibu Karmi, buruh tani yang tak lulus SD. Aku ingin seperti Mbak Gendis
dan Mbak Elok.
Semua masih biasa saja sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang
benar-benar menjungkir balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi
saat paling indah dalam hidupku. Sebulan yang lalu, Awan mengungkapkan
niat untuk melamarku dan aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan
tentang masa depan kami, tentang rumah mungil yang hangat. Tentang
bayi-bayi lucu yang kelak menjadi calon profesor.
Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata, merusak segalanya. Kedatangan
Awan hari ini tak mendapatkan sambutan baik dari bapak
angkatku. Beliau menolak mentah-mentah niat Awan untuk meminangku.
Bahkan, beliau bersumpah tidak akan menyetujui hubungan kami sampai
kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah itu, tidak sama sekali
sejak 11 tahun aku mengenal beliau.
Tapi, hari ini malaikat itu berubah menjadi monster paling menakutkan.
Semua tak seperti kemarin lagi. Dunia tak lagi indah bagiku, meski
langit sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit
saat tadi sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua
kandungku. Aku menceritakan semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di
sana. Di rumah orang tua yang telah melahirkanku.
Kamu sudah dewasa, kamu sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu
karena jasa Pak Ahmad, bapak angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar,
mintalah maaf kepadanya dan turuti apa yang beliau minta. Hatiku sakit
mendengar kalimat itu, ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang
mengandung dan melahirkanku. Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu
tak ada beban dari nada suaranya. Ah ibu, apa benar tak ada lagi
cintamu untukku?
Langit masih bertabur bintang di atas sana, masih menyiratkan keindahan
alam awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku
menggigil. Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa
yang megah dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa
tak berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman.
Aku tak tau apakah bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau
hanya diam di rumah menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya,
lalu dengan santun mengatakan bahwa aku akan ikhlas menerima apa pun
yang beliau mau.
Baru kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan
menentukan pilihan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa
lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah aku anggap malaikat
itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang
lain, hidup bersama Awan.
Awan, mengingatnya kembali membuat dadaku sesak. Aku bodoh, aku lemah,
dan aku tak mampu melawan. Kuintip lagi langit yang tampak jelas dari
tempatku menyudut, tetap semarak meski sangat sepi. Pasti sudah lewat
dini hari, kelengangan meraja.
Silau mentari menerpa wajahku, aku menyipitkan mata
karenanya. Hari sudah terang. Aku tersentak kaget saat menyadari ada
seseorang di dekatku. Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat
semalaman itu tiba-tiba duduk di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak
warna hijau menyelimuti tubuhku.
Aku kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak
saat aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku
meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah
tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang
menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan
aku.
Jangan menangis cah ayu,...jangan cengeng.. Rupanya, isak tangisku
mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput mengusap air mata di
pipiku. Aku makin tersedu.
Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin.... Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus.
Bapak tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih,
kamu telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana,
yang pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak
bajingan itu, sampai mati pun bapak tak rela.. Aku memilih diam, aku
hanya terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku
itu menuntunku pulang.
Seminggu sudah bencana itu berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak.
Sudah seminggu pula, aku menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam
diri di balkon kamarku sambil menatap langit berharap dapat menemukan
bintang jatuh. Malam ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah
mengguyur bumi mulai sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari
sebelumnya.
Nduk Sekar, dipanggil Bapak, suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku.
Ya Mbok, terima kasih, jawabku acuh tanpa membuka pintu
Nduk, dipanggil Bapak, Mbok jah mengulangi panggilannya.
Iya..iya.., bentar!!! sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu.
Maaf nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar.
Sakit? Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku
melihat Bapak sehat-sehat saja? aku menghujani pertanyaan kepada Mbok
Jah sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka
sebagian, dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan
lemah.
Bapak kenapa?? Bapak.... aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak.
Jangan menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu
ini,....berjanjilah, suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat
menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk.
Aku berjajni Bapak, aku berjanji,....
Hari ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih
basah. Semerbak bau kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering.
Di bawah sana, malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk
selamanya meninggalkan janji yang sangat berat di pundakku.
Di seberang sana, aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku
di bawah pohon kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin
berlari ke arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap
semalam kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku.
Aku memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar
membalas tatapannya.
Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi bersama Bapak atau tinggal bersama
Awan yang masih terpaku di bawah pohon kamboja. Janji adalah utang.
Kepada beliau, aku tak hanya utang janji, tapi juga utang budi. Selalu
ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, meski untuk sebutir
pasir sekalipun. Jika itu harga yang harus aku bayar, akan aku lakukan.
Aku memang tak yakin bisa hidup tanpa Awan.
Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku kepada Bapak. Biarlah
takdir sendiri yang menentukan jalan kami. Seperti bintang yang jatuh
untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa menghendakinya demikian.
Dendamlah yang membuat Bapak sangat membenci Pak Surya, orang tua Awan.
Bapak sangat meyakini bahwa kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak
Lastri, adalah karena teluh yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah
pemilihan kepala desa.
Bapak sangat meyakini itu benar. Meski diagnosis dokter mengatakan
bahwa mereka meninggal karena DBD. Saat itu, memang desa ini sedang
diserang wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut hanya berselang
satu hari setelah kemenangan Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain
yang merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga meninggal secara
bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar